Minggu, 21 Juni 2015

Aliran Mu’tazilah

KATA PENGANTAR
           
Pujisyukur kami panjatkankehadirat Allah SWT yang manaberkatrahmatdankarunia-nyalah kami dapatmenyelesaikanmakalah yang telahditugaskaninisebagaimanamestinya.ShalawatdansalamkitahaturkankepadajunjungankitaNabi Muhammad SAW yang telahmembawakitadarikehidupan yang penuhkegelapanmenujukehidupan yang penuhdenganilmupengetahuan.
           
Dengansegalaketerbatasankemampuan, kami berupayauntukmenyelesaikanmakalahinisetelahmendapatarahandanbimbingansebelumnya.

Kami menyadaribahwamakalahinijauhdarisempurna, dansaatini kami masihdalam proses pembelajaran, untukitu kami harapkan saran dankritiksehingga kami dapatberbuat yang lebihbaikdimasa yang akandatang.
           
           
Pekanbaru, Oktober 2014



Penulis








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                          i
DAFTAR ISI                                                                                                          ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                                     1
A.    Latar Belakang                                                                                                   1
B.     Rumusan Masalah                                                                                              2
C.     Tujuan                                                                                                                2
BAB II PEMBAHASAN                                                                                       3
A. Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah                                                   3
B. Gerakan Aliran Mu’tazilah                                                                                  7
C. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah                                                                          7
D. Ajaran-ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah                                                              11
BAB III PENUTUP                                                                                               14
A. Kesimpulan                                                                                                         14
B. Saran                                                                                                                   14
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis Islam. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriyah di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M) yang berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Wasil bin Atha' berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata, mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang keikutsertaan beberapa pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti ‘Amru Ibnu ‘Ubaid dalam serangan yang dilancarkan kepada al-Walid ibn Yazid, dan yang menyebabkan gugurnya Al Walid ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu golongan yang mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan terhadap Al-Walid itu bukanlah pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu pemberontakan yang berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan moral Khalifah. Maka ikut-sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu hanyalah secara perseorangan, disebabkan prinsip-prinsip umum, yang menyebabkan rakyat memberontak kepada penguasa yang zalim.
Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela.Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas pada makalah ini adalah
1        Apa latar belakang munculnya aliran mu’tazilah?
2        Siapakah tokoh-tokoh aliran mu’tazilah?
3        Bagaimana gerakan kaum mu’tazilah?
4        Apa aja ajaran-ajaran pokok aliran mu’tazilah?

C.    Tujuan
Tujuan makalah sebagai berikut :
1        Mengetahui latar belakang munculnya aliran mu’tazilah.
2        Mengetahui tokoh-tokoh aliran mu’tazilah.
3        Mengetahui gerakan kaum mu’tazilah.
4        Mengetahui ajaran-ajaran pokok aliran mu’tazilah.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.                Latar Belakang Muncul Aliran Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri. Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam QS. An-Nisa’ ayat 90 :

فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلا (٩٠
Artinya:
            “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedangkan secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar.Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir.Menghadapi kedua pendapat yangkontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir.Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya.Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik.Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
Golongan pertama disebut Mu’tazilah I: Muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah.Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya.‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan.Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali.Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral.Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas.Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah. Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.
Golongan kedua disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.

Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya:
1.      Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
2.      Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
3.      Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.Ketika pertama kali muncul, aliran Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Mu’tazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim).Jika Al-Qur’an dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik.
Pada umumnya ulama berpendapat bahwa tokoh utama Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Atha’.Ia adalah seorang peserta dalam forum ilmiah Hasan Al-Basri. Dalam forum ini muncul masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa besar.Wasil berkata dalam menentang pendapat Hasan.
Kami juga berpendapat bahwa madzhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah washil, walaupun banyak ahlu bait yang menempuh pola pikir yang sama dengannya, seperti Zaid Ibn Ali yang merupakan teman dekat washil. Washil sendiri adalah salah seorang penyiar paham iniyang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang dialah tokoh utamanya.
Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka terdiri dari orang–orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup bersenag-senang.Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang predikat itu adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia.Sebenarnya tidak semua penganut paham ini seperti itu, tetapi sebagiannya bertaqwa dan ada pula yang dituduh melakukan pekerjaan–pekerjaan maksiat, banyak yang baik dan ada pula yang jahat.
B.       Gerakan aliran Mu’tazilah
            Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua cabang yaitu:
1        Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim, dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
2        Di Bagdad (Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi Daud,(w.240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w.234 H), dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H).
3        Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke-2 dan ke-3. Di Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang tereang-terangan menganut aliran ini dan mendukunhnya adalah:
a.       Yazid Bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
b.      Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
c.        Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4           Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)

C. Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
·         Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
·         Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
·         Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
·         An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim. [1]
·         Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
·         Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
·         Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
·         Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
·         Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
Ciri – Ciri Faham Mu’tazilah
1.      Orang yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat, maka hukumnya tidak mukmin dan tidak kafir, namun diantara keduanya dan di akhirat kelak ia berada di antara surge dan neraka
2.      Akal merupakan hukum tertinggi, baik dan buruk ditetapkan oleh akal
3.      Bila terjadi perbedaan antara akal, Al-Qur’an dan Hadits, maka yang diambil adalah ketentuan akal.
4.      Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penghuninya di akhirat kelak
5.      Perbuatan manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri baik atau buruknya, bukan oleh Allah SWT
6.      Arsy itu tidak ada
7.      Surga dan neraka itu tidak ada, karena yang kekal hanyalah Allah SWT
8.      Shirat ( jembatan yang melintas diatas neraka jahannam ) itu tidak ada
9.      Mizan ( timbangan amal baik dan buruk manusia ) tidak ada, sebab amal manusia itu bukan makanan maka tidak dapat ditimbang dan tidak perlu timbangan
10.  Siksa dan nikmat kubur itu tidak ada, karena setelah dikubur manusia iitu menyatu dengan tanah.
11.  Manusia setelah mati tidak mendapatkan manfaat apapun dari yang hidup, maka tidak perlu dido’akan, diminta ampunan atas dosa-dosanya ataupun mengirimkan hadiah pahala
12.  Allah wajib membuat yang baik dan lebih baik untuk manusia
13.  Allah tidak mempunyai sifat-sifat dan nama-nama, maka haram membaca atau mengkaji sifat-sifat Allah. Sebab Allah mendengar dengan Dzat-Nya, melihat dengan Dzat-Nya, dan segala sesuatu yang dilakukan Allah SWT dengan Dzat-Nya.
14.  Tidak mempercayai adanya Mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW, kecuali Al-Qur’an
15.  Surga dan neraka saat ini belum ada, baru akan dibuat setelah hari kiamat nanti

D.  Ajaran-ajaran pokok aliran Mu’tazilah
·         At- Tauhid
            At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah.Bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik.Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya.Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya.Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim.Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).Untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
            Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA.Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya.Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya.Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat.Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani  mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
·         Al-Adl
            Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”.Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan.Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
-          Perbuatan Manusia
            Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri.Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk.Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
-          Berbuat Baik dan Terbaik
            Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti tuhan tidak adil.
-          Mengutus Rasul
            Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-alasan berikut ini :
·         Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
·         Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus rasul.
·         Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.
·         Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
            Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi).Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.

·         Manzilah Bain Al-Manzilataini
            Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar.Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan.Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain).Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri.Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.

·                  Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an Al  Munkar (Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan)
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan.Ini merupakan konsekuensi logis dari keimananan seseorang.Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
وَلتَكُن مِنكُم أُمَّةٌ يَدعونَ إِلَى الخَيرِ وَيَأمُرونَ بِالمَعروفِ وَيَنهَونَ عَنِ المُنكَرِ ۚ وَأُولٰئِكَ هُمُ المُفلِحونَ ﴿١٠٤
Dan hendaklah ada diantaramu segolongan umat yang menyuruh kebajikan, menyuruh kepada Ma’ruf dan mencegah dari manusia yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS.Ali Imran: 104)
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya Khowarij dan Syi’ah, kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini.Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.
            Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.

B.     Saran
            Makalah ini adalah hasil buah tangan penulis yang masih sangat kurang ilmu pengetahuan, dan penulis juiga sangat menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih menyisakan banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, sebagai penulis kami mohon kerendahan hati para pembaca untuk memaklumi kekurangannya dan diharapkan kesediaanya untuk memberikan kritik yang bersifat konstruktif untuk mejadi bahan evaluasi bagi penulis agar di kemudian hari dapat menulis dengan lebih sempurna.





DAFTAR PUSTAKA

Nasir, Sahilun. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Rojak Abdul, Anwar Rosihon. Ilmu Kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.

Madkour, Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam, penterjemah : Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta : PT. Bumi Aksara


Suchin salma http://salma-kartika.blogspot.com/p/aliran-mutazilah.html
Syafieh Yenti http://syafieh.blogspot.com/2013/03/ilmu-kalam-aliran-mutazilah.html