KATA PENGANTAR
Pujisyukur kami panjatkankehadirat Allah SWT yang
manaberkatrahmatdankarunia-nyalah kami dapatmenyelesaikanmakalah yang
telahditugaskaninisebagaimanamestinya.ShalawatdansalamkitahaturkankepadajunjungankitaNabi
Muhammad SAW yang telahmembawakitadarikehidupan yang
penuhkegelapanmenujukehidupan yang penuhdenganilmupengetahuan.
Dengansegalaketerbatasankemampuan, kami
berupayauntukmenyelesaikanmakalahinisetelahmendapatarahandanbimbingansebelumnya.
Kami menyadaribahwamakalahinijauhdarisempurna,
dansaatini kami masihdalam proses pembelajaran, untukitu kami harapkan saran
dankritiksehingga kami dapatberbuat yang lebihbaikdimasa yang akandatang.
Pekanbaru,
Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A.
Latar
Belakang 1
B.
Rumusan
Masalah 2
C.
Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah 3
B. Gerakan Aliran Mu’tazilah 7
B. Gerakan Aliran Mu’tazilah 7
C. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah 7
D. Ajaran-ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah 11
D. Ajaran-ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah 11
BAB III PENUTUP 14
A. Kesimpulan 14
B. Saran 14
DAFTAR PUSTAKA
A. Kesimpulan 14
B. Saran 14
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aliran
Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat
dikelompokkan sebagai kaum rasionalis Islam. Aliran ini muncul sekitar abad
pertama hijriyah di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu
pengetahuan dan kebudayaan Islam.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil
bin Atha' (700-750
M) yang berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan
kafir yang berarti ia fasik. Wasil bin Atha' berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Mu’tazilah sebenarnya
merupakan gerakan keagamaan semata, mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan
tidak pernah menghunus pedang. Riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang keikutsertaan
beberapa pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti ‘Amru Ibnu ‘Ubaid dalam serangan
yang dilancarkan kepada al-Walid ibn Yazid, dan yang menyebabkan gugurnya Al
Walid ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu golongan
yang mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan terhadap Al-Walid
itu bukanlah pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu
pemberontakan yang berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan
moral Khalifah. Maka ikut-sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam
pemberontakan itu hanyalah secara perseorangan, disebabkan prinsip-prinsip
umum, yang menyebabkan rakyat memberontak kepada penguasa yang zalim.
Walaupun gerakan
Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuatan
ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap
pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah
satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela.Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi
sebab yang terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang
dibahas pada makalah ini adalah
1
Apa
latar belakang munculnya aliran mu’tazilah?
2
Siapakah
tokoh-tokoh aliran mu’tazilah?
3
Bagaimana
gerakan kaum mu’tazilah?
4
Apa aja
ajaran-ajaran pokok aliran mu’tazilah?
C. Tujuan
Tujuan makalah sebagai berikut :
1
Mengetahui
latar belakang munculnya aliran mu’tazilah.
2
Mengetahui
tokoh-tokoh aliran mu’tazilah.
3
Mengetahui
gerakan kaum mu’tazilah.
4
Mengetahui
ajaran-ajaran pokok aliran mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Muncul Aliran Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang
artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan
diri. Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang
kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi
sesuatu) seperti dalam QS. An-Nisa’ ayat 90 :
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلا (٩٠
Artinya:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedangkan secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah
sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam
yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil
bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2
Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan
antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang
berdosa besar.Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak
dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.Sementara itu, kaum
Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin,
bukan kafir.Menghadapi kedua pendapat yangkontroversial ini, Wasil bin Atha'
yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra,
mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar
menempati posisi antara mukmin dan kafir.Tegasnya orang itu bukan mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya.Oleh karena di akhirat nanti tidak
ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam
neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik.Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
Golongan pertama disebut Mu’tazilah I: Muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah.Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya.‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan.Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali.Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral.Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas.Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah. Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik.Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
Golongan pertama disebut Mu’tazilah I: Muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah.Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya.‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan.Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali.Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral.Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas.Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah. Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.
Golongan kedua disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat
adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada
yang berbuat dosa besar.Namun demikian, antara kedua golongan ini masih
terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan
kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya:
1.
Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada
peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid,
dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan
oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya
mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan
Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak
kafir”. Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat
lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para
pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil
menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok
yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
2.
Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr
bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian
di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini
dinamakan Mu’tazilah.
3.
Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari
masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya
adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut
bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil
berkata, “ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah.Ketika pertama kali muncul, aliran Mu’tazilah tidak mendapat simpati
umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami
ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain
mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena
aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan
para sahabatnya. Aliran Mu’tazilah baru mendapatkan tempat, terutama di
kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah
(198-218 H/813-833 M ).
Kedudukan Mu’tazilah
semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya sebagai mazhab resmi
negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam
tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada masa
kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan
alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas
paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim).Jika Al-Qur’an
dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik.
Pada umumnya ulama
berpendapat bahwa tokoh utama Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Atha’.Ia adalah
seorang peserta dalam forum ilmiah Hasan Al-Basri. Dalam forum ini muncul
masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa besar.Wasil
berkata dalam menentang pendapat Hasan.
Kami juga berpendapat
bahwa madzhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah washil, walaupun banyak
ahlu bait yang menempuh pola pikir yang sama dengannya, seperti Zaid Ibn Ali
yang merupakan teman dekat washil. Washil sendiri adalah salah seorang penyiar
paham iniyang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang dialah tokoh
utamanya.
Sebagian orientalis
berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka terdiri dari
orang–orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup
bersenag-senang.Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang
predikat itu adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia.Sebenarnya tidak
semua penganut paham ini seperti itu, tetapi sebagiannya bertaqwa dan ada pula
yang dituduh melakukan pekerjaan–pekerjaan maksiat, banyak yang baik dan ada
pula yang jahat.
B. Gerakan
aliran Mu’tazilah
Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua
cabang yaitu:
1
Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid
dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim, dll. Ini
berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah
Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin
Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
2
Di Bagdad (Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar
salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat
dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi
Daud,(w.240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w.234 H), dan Ja’far bin Harib
al-Hamdani (w. 235 H).
3
Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke-2 dan ke-3. Di Basrah dan
di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang tereang-terangan menganut aliran ini
dan mendukunhnya adalah:
a.
Yazid Bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126
H)
b.
Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
c.
Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid
(Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4
Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim
(Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
C. Tokoh-tokoh
aliran Mu’tazilah
·
Wasil
bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan
kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya,
yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya
dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan
sifat-sifat Tuhan.Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran
Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat
Tuhan.
·
Abu
Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran
Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat
sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini
menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum
Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah
Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara.
Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi
ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam
Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia
mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun
ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian
mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui
dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya;
Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan
seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya
yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu
yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa
kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal
kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk,
manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang
buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang
adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
·
Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran
Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat
Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia
menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa,
berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui
melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui
manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang
diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah
syar’iah).
·
An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai
keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku
zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau
Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka
an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak
mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim
hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh
dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat
al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada
uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan
tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari
huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat
baru dan tidak kadim. [1]
·
Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin
Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum
muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu
sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
·
Mu’ammar
bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri
muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam.
Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya
menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang
datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika
sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh
lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan
Tuhan.
·
Bisyr
al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut
pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf.
Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya
yang terdahulu.
·
Abu Musa
al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin
muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang
lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai
kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat
dilihat dengan mata kepala.
·
Hisyam
bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa
yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang.
Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka
sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
Ciri
– Ciri Faham Mu’tazilah
1. Orang
yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat, maka hukumnya tidak
mukmin dan tidak kafir, namun diantara keduanya dan di akhirat kelak ia berada
di antara surge dan neraka
2. Akal
merupakan hukum tertinggi, baik dan buruk ditetapkan oleh akal
3. Bila
terjadi perbedaan antara akal, Al-Qur’an dan Hadits, maka yang diambil adalah
ketentuan akal.
4. Allah
tidak dapat dilihat di surga oleh penghuninya di akhirat kelak
5. Perbuatan
manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri baik atau buruknya, bukan oleh
Allah SWT
6. Arsy
itu tidak ada
7. Surga
dan neraka itu tidak ada, karena yang kekal hanyalah Allah SWT
8. Shirat
( jembatan yang melintas diatas neraka jahannam ) itu tidak ada
9. Mizan
( timbangan amal baik dan buruk manusia ) tidak ada, sebab amal manusia itu
bukan makanan maka tidak dapat ditimbang dan tidak perlu timbangan
10. Siksa
dan nikmat kubur itu tidak ada, karena setelah dikubur manusia iitu menyatu
dengan tanah.
11. Manusia
setelah mati tidak mendapatkan manfaat apapun dari yang hidup, maka tidak perlu
dido’akan, diminta ampunan atas dosa-dosanya ataupun mengirimkan hadiah pahala
12. Allah
wajib membuat yang baik dan lebih baik untuk manusia
13. Allah
tidak mempunyai sifat-sifat dan nama-nama, maka haram membaca atau mengkaji
sifat-sifat Allah. Sebab Allah mendengar dengan Dzat-Nya, melihat dengan
Dzat-Nya, dan segala sesuatu yang dilakukan Allah SWT dengan Dzat-Nya.
14. Tidak
mempercayai adanya Mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW, kecuali Al-Qur’an
15. Surga
dan neraka saat ini belum ada, baru akan dibuat setelah hari kiamat nanti
D. Ajaran-ajaran pokok aliran Mu’tazilah
·
At-
Tauhid
At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan
intisari ajaran mu’tazilah.Bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang
spesifik.Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti
kemahaeseaan-Nya.Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada
satupun yang menyamainya.Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim.Jika ada
lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya
dzat yang tak berpermulaan).Untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak
konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme
tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Mu’tazilah
berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA.Dia maha
melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya.Namun, itu semua bukanlah
sifat Allah, malainkan dzatnya.Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang
melekat.Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu
dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh
Asy-Syahrastani mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim,
berarti telah menduakan tuhan. Ini tidak dapat diterima karena merupakan
perbuatan syirik.
·
Al-Adl
Ajaran dasar
Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”.Adil ini
merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan.Karena
tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa
hal, antara lain:
-
Perbuatan
Manusia
Manusia
menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri.Manusia
benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk.Tuhan hanya
menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
-
Berbuat
Baik dan Terbaik
Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan
yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena
akan membuat kesan bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu
yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan
berbuat baik kepada yang lain, berarti tuhan tidak adil.
-
Mengutus
Rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan,
karena alasan-alasan berikut ini :
·
Tuhan
wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali
dengan mengutus rasul kepada mereka.
·
Al-qur’an
secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada
manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan
mengutus rasul.
·
Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut
berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.
·
Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Al-wa’d wa
al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana
tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh
janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat
baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka
(al-ashi).Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau
bertobat nashuha, pasti benar adanya.
·
Manzilah
Bain Al-Manzilataini
Ajaran ini
terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar.Seperti
yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang
musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan
dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan.Boleh jadi dosa itu
diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain
lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain
al-manzilatain).Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid
harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri.Berawal
dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
·
Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an
Al Munkar (Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan)
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan
kebaikan.Ini merupakan konsekuensi logis dari keimananan seseorang.Pengakuan
keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh
orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab
Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata
pelaksanaanya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan kekerasan dapat
ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
وَلتَكُن مِنكُم أُمَّةٌ يَدعونَ إِلَى الخَيرِ وَيَأمُرونَ
بِالمَعروفِ وَيَنهَونَ عَنِ المُنكَرِ ۚ وَأُولٰئِكَ هُمُ المُفلِحونَ ﴿١٠٤
“Dan hendaklah ada
diantaramu segolongan umat yang menyuruh kebajikan, menyuruh kepada Ma’ruf dan
mencegah dari manusia yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS.Ali Imran: 104)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berbicara
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi
perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya Khowarij dan Syi’ah, kemudian
muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal
dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang
tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar.
Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran
kelompok ini.Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya
yang telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.
Oleh karena
itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya
agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah
yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih
dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan
kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
B.
Saran
Makalah ini adalah hasil buah tangan penulis yang masih sangat
kurang ilmu pengetahuan, dan penulis juiga sangat menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih menyisakan banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, sebagai penulis kami mohon kerendahan hati para pembaca untuk
memaklumi kekurangannya dan diharapkan
kesediaanya untuk memberikan kritik yang bersifat konstruktif untuk mejadi
bahan evaluasi bagi penulis agar di kemudian hari dapat menulis dengan lebih
sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Nasir, Sahilun. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Rojak Abdul, Anwar Rosihon. Ilmu Kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
Madkour, Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam,
penterjemah : Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta : PT. Bumi Aksara
Suchin
salma http://salma-kartika.blogspot.com/p/aliran-mutazilah.html
Syafieh
Yenti http://syafieh.blogspot.com/2013/03/ilmu-kalam-aliran-mutazilah.html