KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas ini dengan sebaik-baiknya.
Tugas ini kami buat bertujuan untuk menambah wawasan para
pembaca tentang Ilmu Aqidah dalam Islam. Kami menyadari tugas ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan untuk kemajuan tugas
kami berikutnya. Terima kasih kepada orang tua dan guru yang telah mengajar dan membimbing kami dalam
pembelajaran ini.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga para
pembaca dapat memahami tugas ini dengan baik.
Pekanbaru, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR
ISI ..................................................................................................... 2
BAB I PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah...... 3
B. Sejarah
Munculnya Faham Qadariyah........................................... 3
C. I’tiqad
Qadariyah Yang Bertentangan Dengan Ahlussunnah Waljamaa 6
D. Tokoh
dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah................................... 6
a.
Ma’bad Al-Jauhani................................................................. 6
b.
Ghailan Ibnu Muslim
Al-Damasyqy....................................... 6
KESIMPULAN.................................................................................................. 10
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................
11
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari
bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara
terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat
dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .
Seharusnya, sebutan
Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan
segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun sebutan
tersebut telah melekat pada kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai
kebebasan berkehendak . Menurut Ahmad Amin dalam Rosihon Anwar, sebutan ini
diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk
hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah . Hadits tersebut
berbunyi: الاْءُمَّةِ هَذِهِ مَجُوْسُ آلْقَدَرِيّةُ artinya: “Kaum Qadariyah
adalah majusinya umat ini.
.
B.
Sejarah
Munculnya Faham Qadariyah
Qadariyah diambil dari bahasa Arab, dasar katanya adalah
qadara yang memiliki arti kemampuan atau kekuasaan. Adapun pengertian qadariyah
berdasarkan terminology adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan.
Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free
will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan
kemauan dan tenaganya.
Aliran qadariyah ini di kirakan muncul pada tahun 70 H
dengan berbagai versi yang memperdebatkan mengenai tokoh pemulanya.
Versi pertama dikemukakan oleh Ahmad Amin berdasarkan
pendapat beberapa ahli teologi bahwa faham qadariyah ini pertama kali
diperkenalkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy.
Versi kedua, masih dikemukakan oleh Ahmad Amin berdasarkan
pendapat Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun bahwa faham qadariyah ini
pertama kali dimunculkan oleh seorang Kristen Irak yang masuk Islam kemudian
kembali kepada Kristen yang bernama Susan.
Versi ketiga dikemukakan oleh W. Montgomery Watt berdasarkan
tulisan Hellmut Ritter yang ditulis dalam bahasa Jerman, menyebutkan bahwa
faham qadariyah ditemukan dalam kitab Ar-Risalah karya Hasan Al-Basri. Namun
versi ini menjadi perdebatan panjang bahwa Hasan Al-Basri seorang Qadariyah.
Dalam kitab ini, dia menulis bahwa manusia berhak memilih mana yang baik dan buruk
bagi dirinya.
Seharusnya, sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang
berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkahlaku manusia, baik yang bagus
maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang
percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin,
sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan
merujuk Hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah. Yakni
“Bahwa kaum qadariyah majusinya ummat ini”.
Beberapa ayat Al-Qur’an yang
digunakan sebagai dasar pemikiran mereka adalah:
وَقُلِ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ
يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ
الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
Artinya: Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.
Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air
seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Al-Kahfi: 29)
أَوَلَمَّا
أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ
هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada
peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya
(kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran: 165).
لَهُ
مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا
لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
(Ar-Ra’d:11).
وَمَنْ
يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا
حَكِيمًا
Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(An-Nisa: 111).
Ibnu
Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin,
memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah
adalah orang irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk islam dan balik
lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham
ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang
memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
Sementara itu, W. Montgomery Watt manamukan dokumen lain
melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui
majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham
Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah
dan ditulis untuk Kholifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun
700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di irak. Ia lahir
dimadinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai
akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan, hal
ini memang menjadi perdebatan. Namun, yang jelas, -berdasarkan catatannya yang
terdapat dalam kitab Risalah ini
ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk.
Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad- Dimasyqi, menurut Watt,
adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan
dengan keterangan Adz-Dhahabi dalam Mizan Al-I’tidal seperti dikutip Ahmad Amin
yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Basri,
makasngat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan hasan Al-Bashri.
Dengan demikian, keterangan yang itulis oleh Ibn Nabatah dalam Syahrul
Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang irak Kristen yang
masuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang
yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan
pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher,
dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin
Qadariyah yang mencekam pikiran para teolognya.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul,
ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan
untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal
ini karna penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di
irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama
tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari irak yang telah masuk ilam
pendapatnya itu diambil olrh Ma’bad dan Ghailan. Sebagaimana lain berpendapat
bahwa faham ini muncul di Damaskus. Di duga di sebabkan oleh pengaruh
orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana
Khalifah.
C.
I’tiqad
Qadariyah Yang Bertentangan Dengan Ahlussunnah Waljamaah
Adapun doktrin yang dikembangkan
oleh kaum qadariyah ini diantaranya:
- Manusia mempunyai daya dan
kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang
diinginkan baik dan buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan
merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
- takdir merupakan ketentuan
Allah SWT terhadap alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam
Al-Qur’an disebut sunnatullah.
- Secara alamiah manusia
mempunyai takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak
memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk
mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat
menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut
dengan menciptakan pesawat terbang.
D. Tokoh
dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah
Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa tokoh yang pertama kali memunculkan faham
qadariyah dalam Islam adalah Ma’bad Al-Jauhani dan temannya Ghailan
Al-Dimasyqy.
a.
Ma’bad Al-Jauhani
Menurut Al-Zahabi dalam
kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar,
menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan
contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh
al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia
dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya
karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri,
dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya .
b.
Ghailan
Ibnu Muslim Al-Damasyqy
Sepeninggal Ma’bad,
Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut
Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah
seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu
Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham
qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia
kembali lagi dengan mazhabnya .Ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd
al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara
Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri .
Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, menurut Harun Nasution, nama qadariyah adalah sebutan
bagi kaum yang mengingkari qadar, yang mendustakan bahwa segala sesuatu sudah
ditakdirkan oleh Allah. Nama qadariyah bukan berasal dari pengertian bahwa
manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .
Dalam ajarannya, aliran
qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak
laku dan perbuatannya.Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu.Dalam
menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang
menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan.
Penjelasan yang
menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali
Musthafha al-Ghurabi antara lain menyatakan bahwa sesungguhnya Allah telah
menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa
yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada
manusia, namun Ia tidak memberikan kekuatan, maka beban itu adalah sia-sia,
sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi
.Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa faham qadariyah telah meletakkan
manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika
manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri
serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena
itu jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat, atau
diberi siksaan di neraka, maka semua itu adalah atas pilihannya sendiri
Selanjutnya, terlepas
apakah faham qadariyah itu dipengaruhi oleh faham dari luar atau tidak, yang
jelas di dalam Al-Quran dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham
qadariyah sebagaimana disebutkan diatas , diantaranya adalah:
Dalam surat al-Ra’d
ayat 11, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri”.
Dalam surat Fushshilat
ayat 40, Allah berfirman: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia
Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dalam surat al-Kahfi
ayat 29, Allah berfirman: “Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Dengan demikian faham
qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, dan tidaklah beralasan jika ada
sebagian orang menilai faham ini sesat atau keluar dari Islam.
E.
Perbandingan
Aliran Jabariyah Dan Qadariyah
Beberapa perbedaan mendasar terhadap berbagai permasalahan
teologi yang berkembang diantara kedua aliran ini diantaranya adalah:
1.
Jabariyah meyakini
bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah sehingga
manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara qadariyah
meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia
memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan sikap.
2.
Jabariyah
menyatakan bahwa surga dan neraka tidak kekal, setiap manusia pasti merasakan
surga dan neraka, setelah itu keduanya akan lenyap. Qadariyah menyatakan bahwa
manusia yang berbuat baik akan mendapat surga, sementara yang berbuat jahat
akan mendapat ganjaran di neraka, kedua keputusan itu merupakan konsekuensi
dari perbuatan yang dilakukan manusia berdasarkan kehendak dan pilihannya
sendiri.
3.
Takdir
dalam pandangan kaum jabariyah memiliki makna bahwa segala perbuatan manusia
telah ditentukan dan digariskan Allah SWT, sehingga tidak ada pilihan bagi
manusia. Sementara takdir menurut kaum qadariyah merupakan ketentuan Allah
terhadap alam semesta sejak zaman azali, manusia menyesuaikan terhadap alam
semesta melalui upaya dan pemikirannya yang tercermin dalam kreatifitasnya.
F.
Pandangan
Ahli Ilmu Kalam Terhadap Aliran Jabariyah Dan Qadariyah
Para ahli ilmu kalam banyak memperdebatkan ajaran-ajaran
yang dikembangkan oleh ulama jabariyah maupun ulama qadariyah. Beberapa
argument diberikan untuk menolak ajaran kedua faham ini.
Jika manusia tidak memiliki daya dan segala perbuatannya
dipaksa oleh Allah, maka sejauh mana eksistensi manusia sebagai khalifah di
muka bumi, bagaimana fungsi berita gembira dan ancaman yang Allah berikan,
serta untuk apa Allah menyediakan ganjaran atas segala perilaku manusia selama
hidup.
Keyakinan bahwa manusia dipaksa (majbur) dalam melakukan
segala sesuatu akan membuat manusia menjadi malas berusaha karena menganggap
semuanya merupakan takdir yang tak dapat diubah, juga dapat menyebabkan manusia
tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu.
Begitu pun sebaliknya, jika seluruh perbuatan manusia berada
pada tangan manusia itu sendiri tanpa andil Sang Pencipta, maka seberapa kuat
kemampuan manusia untuk mengelola alam ini sementara kemampuan kita sangat
terbatas. Maka di mana letak batas kreatifitas kita. Dengan keyakinan ini, maka
di mana letak keimanan kita terhadap qadha dan qadar Allah SWT.
Penolakan terhadap ajaran qadariyah ini disebabkan oleh
beberapa hal. Diantaranya, pertama, bangsa Arab telah terbiasa dengan pemikiran
pasrah terhadap alam yang keras dan ganas. Kedua, pemerintah yang menganut
jabariyah menganggap gerakan faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan
faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik
kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, bhakan dapat
menggulingkan kedudukan mereka di dalam pemerintahan.
Dengan semakin berkembang teology, pemikiran ahli ilmu kalam
pun semakin berkembang dan tentu semakin kritis. Hal ini banyak membantu
masyarakat awam untuk memilih ajaran murni yang datang dari Allah SWT dan
utusan-Nya. Masyarakat dapat memperkokoh keimanannya melalui ajaran yang disebarkan
oleh para ulama ilmu kalam modern saat ini. Maka tidak heran bila saat ini
banyak terbuka ketimpangan dan kerancuan dalam berbagai aliran karena
kekritisan ulama ilmu kalam modern saat ini.
KESIMPULAN
à Qadariah
berarti: mampu, kuasa, merdeka. Maksudnya yaitu: suatu aliran yang mengakui
bahwa manusia memiliki kemampuan, kebebasan dan kemerdekaan dalam berbuat.
à Dalam bahasa Inggris qadariyah ini
diartikan sebagai free will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan
perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya.
à Aliran qadariyah ini di kirakan
muncul pada tahun 70 H dengan berbagai versi yang memperdebatkan mengenai tokoh
pemulanya
à Menurut
mereka, manusia memiliki kehendak dan kekuasaannya dalam berbuat, baik
perbuatan yang halal maupun yang haram.Manusia berbuat baik adalah atas
keinginannya sendiri, dan berbuat jahat juga atas kemauannya sendiri.Tuhan
tidak ikut campur di dalamnya.
à Sedangkan
aliran Qadariah pertama kali dikemukakan oleh Ma’bad al-Juhani,
salah seorang golongan tabi’in. Setelah wafat dilanjutkan oleh Ghailan
al-Dimasyqi
à Jabariyah
meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah
sehingga manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara qadariyah
meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia
memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan sikap.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harun Nasution, 1986, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan, Jakarta: UI Press.
Rosihon Anwar, dkk,
2006, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia. Sirajuddin Zar, 2003, Teologi Islam:
aliran dan ajarannya, Padang: IAIN Press.
Jazakallah kak atas makalahnya yg bermanfaat
BalasHapus