Minggu, 21 Juni 2015

Aliran Qadariyah

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya.
Tugas ini kami buat bertujuan untuk menambah wawasan para pembaca tentang Ilmu Aqidah dalam Islam. Kami menyadari tugas ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan untuk kemajuan tugas kami berikutnya. Terima kasih kepada orang tua dan guru  yang telah mengajar dan membimbing kami dalam pembelajaran ini.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat memahami tugas ini dengan baik.


           Pekanbaru,      Oktober  2014


           Penulis











DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................  
DAFTAR ISI .....................................................................................................   2

BAB  I     PEMBAHASAN
A.  Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah......   3
B.  Sejarah Munculnya Faham Qadariyah...........................................   3
C.  I’tiqad Qadariyah Yang Bertentangan Dengan Ahlussunnah Waljamaa                      6
D.  Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah...................................   6
a.       Ma’bad Al-Jauhani.................................................................   6
b.      Ghailan Ibnu Muslim Al-Damasyqy.......................................   6
E.   Perbandingan Aliran Jabariyah Dan Qadariyah.............................   7

KESIMPULAN..................................................................................................   10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 11




















BAB  I

PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun sebutan tersebut telah melekat pada kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak . Menurut Ahmad Amin dalam Rosihon Anwar, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah . Hadits tersebut berbunyi: الاْءُمَّةِ هَذِهِ مَجُوْسُ آلْقَدَرِيّةُ artinya: “Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.
.
B.     Sejarah Munculnya Faham Qadariyah
Qadariyah diambil dari bahasa Arab, dasar katanya adalah qadara yang memiliki arti kemampuan atau kekuasaan. Adapun pengertian qadariyah berdasarkan terminology adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan.
Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya.
Aliran qadariyah ini di kirakan muncul pada tahun 70 H dengan berbagai versi yang memperdebatkan mengenai tokoh pemulanya.
Versi pertama dikemukakan oleh Ahmad Amin berdasarkan pendapat beberapa ahli teologi bahwa faham qadariyah ini pertama kali diperkenalkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy.
Versi kedua, masih dikemukakan oleh Ahmad Amin berdasarkan pendapat Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun bahwa faham qadariyah ini pertama kali dimunculkan oleh seorang Kristen Irak yang masuk Islam kemudian kembali kepada Kristen yang bernama Susan.
Versi ketiga dikemukakan oleh W. Montgomery Watt berdasarkan tulisan Hellmut Ritter yang ditulis dalam bahasa Jerman, menyebutkan bahwa faham qadariyah ditemukan dalam kitab Ar-Risalah karya Hasan Al-Basri. Namun versi ini menjadi perdebatan panjang bahwa Hasan Al-Basri seorang Qadariyah. Dalam kitab ini, dia menulis bahwa manusia berhak memilih mana yang baik dan buruk bagi dirinya. 
Seharusnya, sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkahlaku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.  Yakni “Bahwa kaum qadariyah majusinya ummat ini”.
Beberapa ayat Al-Qur’an yang digunakan sebagai dasar pemikiran mereka adalah:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
Artinya: Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Al-Kahfi: 29)
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran: 165).
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Ar-Ra’d:11).
وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa: 111).
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
Sementara itu, W. Montgomery Watt manamukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Kholifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di irak. Ia lahir dimadinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan, hal ini memang menjadi perdebatan. Namun, yang jelas, -berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.

Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad- Dimasyqi, menurut Watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dhahabi dalam Mizan Al-I’tidal seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Basri, makasngat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan hasan Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang itulis oleh Ibn Nabatah dalam Syahrul Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang irak Kristen yang masuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang mencekam pikiran para teolognya.

Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karna penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari irak yang telah masuk ilam pendapatnya itu diambil olrh Ma’bad dan Ghailan. Sebagaimana lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Di duga di sebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana Khalifah.    


C.    I’tiqad Qadariyah Yang Bertentangan Dengan Ahlussunnah Waljamaah

Adapun doktrin yang dikembangkan oleh kaum qadariyah ini diantaranya:
  1. Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
  2. takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah.
  3. Secara alamiah manusia mempunyai takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.


D.   Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tokoh yang pertama kali memunculkan faham qadariyah dalam Islam adalah Ma’bad Al-Jauhani dan temannya Ghailan Al-Dimasyqy.

a.  Ma’bad Al-Jauhani
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya .
b.   Ghailan Ibnu Muslim Al-Damasyqy
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya .Ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri .
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, menurut Harun Nasution, nama qadariyah adalah sebutan bagi kaum yang mengingkari qadar, yang mendustakan bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh Allah. Nama qadariyah bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .
Dalam ajarannya, aliran qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya.Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu.Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan.
Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali Musthafha al-Ghurabi antara lain menyatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, namun Ia tidak memberikan kekuatan, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi .Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa faham qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat, atau diberi siksaan di neraka, maka semua itu adalah atas pilihannya sendiri
Selanjutnya, terlepas apakah faham qadariyah itu dipengaruhi oleh faham dari luar atau tidak, yang jelas di dalam Al-Quran dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham qadariyah sebagaimana disebutkan diatas , diantaranya adalah:
Dalam surat al-Ra’d ayat 11, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri”.
Dalam surat Fushshilat ayat 40, Allah berfirman: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dalam surat al-Kahfi ayat 29, Allah berfirman: “Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Dengan demikian faham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai faham ini sesat atau keluar dari Islam.

E.     Perbandingan Aliran Jabariyah Dan Qadariyah

Beberapa perbedaan mendasar terhadap berbagai permasalahan teologi yang berkembang diantara kedua aliran ini diantaranya adalah:
1.      Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah sehingga manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan sikap.

2.      Jabariyah menyatakan bahwa surga dan neraka tidak kekal, setiap manusia pasti merasakan surga dan neraka, setelah itu keduanya akan lenyap. Qadariyah menyatakan bahwa manusia yang berbuat baik akan mendapat surga, sementara yang berbuat jahat akan mendapat ganjaran di neraka, kedua keputusan itu merupakan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan manusia berdasarkan kehendak dan pilihannya sendiri.

3.      Takdir dalam pandangan kaum jabariyah memiliki makna bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dan digariskan Allah SWT, sehingga tidak ada pilihan bagi manusia. Sementara takdir menurut kaum qadariyah merupakan ketentuan Allah terhadap alam semesta sejak zaman azali, manusia menyesuaikan terhadap alam semesta melalui upaya dan pemikirannya yang tercermin dalam kreatifitasnya.


F.     Pandangan Ahli Ilmu Kalam Terhadap Aliran Jabariyah Dan Qadariyah

Para ahli ilmu kalam banyak memperdebatkan ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ulama jabariyah maupun ulama qadariyah. Beberapa argument diberikan untuk menolak ajaran kedua faham ini.
Jika manusia tidak memiliki daya dan segala perbuatannya dipaksa oleh Allah, maka sejauh mana eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi, bagaimana fungsi berita gembira dan ancaman yang Allah berikan, serta untuk apa Allah menyediakan ganjaran atas segala perilaku manusia selama hidup.
Keyakinan bahwa manusia dipaksa (majbur) dalam melakukan segala sesuatu akan membuat manusia menjadi malas berusaha karena menganggap semuanya merupakan takdir yang tak dapat diubah, juga dapat menyebabkan manusia tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu.
Begitu pun sebaliknya, jika seluruh perbuatan manusia berada pada tangan manusia itu sendiri tanpa andil Sang Pencipta, maka seberapa kuat kemampuan manusia untuk mengelola alam ini sementara kemampuan kita sangat terbatas. Maka di mana letak batas kreatifitas kita. Dengan keyakinan ini, maka di mana letak keimanan kita terhadap qadha dan qadar Allah SWT.
Penolakan terhadap ajaran qadariyah ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya, pertama, bangsa Arab telah terbiasa dengan pemikiran pasrah terhadap alam yang keras dan ganas. Kedua, pemerintah yang menganut jabariyah menganggap gerakan faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, bhakan dapat menggulingkan kedudukan mereka di dalam pemerintahan.
Dengan semakin berkembang teology, pemikiran ahli ilmu kalam pun semakin berkembang dan tentu semakin kritis. Hal ini banyak membantu masyarakat awam untuk memilih ajaran murni yang datang dari Allah SWT dan utusan-Nya. Masyarakat dapat memperkokoh keimanannya melalui ajaran yang disebarkan oleh para ulama ilmu kalam modern saat ini. Maka tidak heran bila saat ini banyak terbuka ketimpangan dan kerancuan dalam berbagai aliran karena kekritisan ulama ilmu kalam modern saat ini.
































KESIMPULAN

à Qadariah berarti: mampu, kuasa, merdeka. Maksudnya yaitu: suatu aliran yang mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan, kebebasan dan kemerdekaan dalam berbuat.
à Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya.
à Aliran qadariyah ini di kirakan muncul pada tahun 70 H dengan berbagai versi yang memperdebatkan mengenai tokoh pemulanya
à Menurut mereka, manusia memiliki kehendak dan kekuasaannya dalam berbuat, baik perbuatan yang halal maupun yang haram.Manusia berbuat baik adalah atas keinginannya sendiri, dan berbuat jahat juga atas kemauannya sendiri.Tuhan tidak ikut campur di dalamnya.
à Sedangkan aliran Qadariah pertama kali dikemukakan oleh Ma’bad al-Juhani, salah seorang golongan tabi’in. Setelah wafat dilanjutkan oleh Ghailan al-Dimasyqi
à Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah sehingga manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan sikap.





DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harun Nasution, 1986, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan, Jakarta: UI Press.
Rosihon Anwar, dkk, 2006, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia. Sirajuddin Zar, 2003, Teologi Islam: aliran dan ajarannya, Padang: IAIN Press.


1 komentar: